Monday, February 1, 2016

Perasaan yang Terhenti

PERASAAN YANG TERHENTI
Rembulan telah tergantikan oleh mentari, gelap pun telah berubah menjadi terang. Aku mulai bangkit dari tidurku, walapun rasanya sangat berat untuk beranjak dari kasur empuk ku. Aku membuka jendela kamarku dan mulai melirik matahari yang tersenyum malu-malu kepadaku, semakin lama semakin terlihat senyumnya yang begitu terang. Burung-burung mulai keluar dan menari-nari di atas hamparan samudra yang terbentang. Begitu indah, begitu menggoda setiap mata yang melihat. “Mandi dulu Nak.” Terdengar suara ibu di seberang kamar ku. “Iya Ibuku sayang” jawabku sambil ke luar kamar.
Setelah mandi dan siap berangkat ke tempat fitness, aku lihat handphoneku yang dari tadi berada di kamar tidurku. Dua panggilan tak terjawab. Aku buka dan nama Imel yang tertera dalam layar handphone. Aku hanya bisa tersenyum saat melihat dan membacanya. Tak ada yang bisa ku lakukan, selain kekecewaan atas ketidak tahuanku saat Imel menelpon. “Bu ... Nana berangkat dulu ya Bu,” berlari menyambar sebuah kunci di atas meja. “Iya... hati-hati Nak jangan ngebut di jalan,” timpal Ibu Ratna.
Aku mulai melajukan motor matic kesayanganku dengan santai. Sesampai di depan rumah Imel saudaraku, aku ngak masuk tapi langsung mengambil handphone kesayanganku dan menelepon Imel, “Mel..Imel manis ?” Ayo kita berangkat udah siang nih!” Iya ...bentar sahut Imel ditelepon. Tak berapa lama Imel muncul dari balik pintu rumah.”Hadeuh buru-buru amat sih Nana?” kan masih pagi, rungut Imel pada Ratna. “Tadi ditelepon ngak jawab sekarang ngajak buru-buru, dasar kamu, Nana!?” Aku hanya diam saja memperhatikan Imel yang lagi membetulkan bajunya. “Cepetan naik!”Ajak Ratna sambil menyalakan motornya.
“Ah..akhirnya nyampai juga nih, kata Imel sambil turun dari motor matic Ratna.” Dan setelah memarkir motor maticnya Ratna mengajak dan menarik lengan Imel langsung masuk ke tempat fitnes. “Pelan dong, nyantai aja lagi,” kata Imel sambil manyun.  Berbasa-basi sebentar dengan petugas,  langsung masuk ke ruang ganti pakaian. Tiga puluh menit sudah Ratna dan Imel fitnes, sambil istirahat dan mengeringkan keringat mereka minum air mineral sambil bergurau.
“Mel...Mel...,liat...liat tuh”, kata Ratna sambil menepuk bahu Imel. “Ada apa sih?”Segitunya amat sih. “Pokoknya kamu liat bentar aja,” paksa Ratna. “Wow...”pantesan kamu nyuruh liat...menakjubkan ganteng amat...,kata Imel. Iya makanya...sambil mencubit Imel. “Aduuuh...napa sih Nana?” Naksir ya? “Lom tentu dia demen sama lho,” kata Ratna sambil mengusap-usap bekas cubitan. “Yaaa ...gitu deh,” Ratna tertunduk, tersipu malu meronalah pipinya. Mereka berdua terus memandang dan memperhatikan cowok yang baru datang ke tempat tersebut untuk fitnes.
Tak lama cowok tersebut melakukan aktivitasnya, lalu duduk bersebrangan dengan Ratna dan Imel sambil menyeka keringat dengan handuk kecilnya. Dia tersenyum pada kedua gadis yang sedari tadi memperhatikannya. Deg..hati Ratna seolah-olah terkena setrum. “Minum de...,” tawarnya, sambil mendekati.  “I ..i..iyaa...makasih ada ni juga,” sahut Ratna gugup terbawa oleh perasaannya. “Sudah sering datang ke tempat ini?” Lanjutnya lagi. “Sering juga mas.” “Kok baru ketemu ya,” selorohnya lagi. “Aku dan saudaraku ini biasanya ke sini tiap hari Minggu saja, kebutulan hari ini libur jadi ngak ada kegiatan lain makanya datang ke sini untuk cari keringat,” sahut Ratna  dengan nada yang masih sedikit gugup. “Oh begitu,” timpalnya singkat.
Sesaat mereka terdiam dengan pikirannya masing-masing, entah apa yang terlintas di benak mereka bertiga. Tiba-tiba laki-laki di hadapan Ratna dan Imel bicara mengagetkan, terutama bagi Ratna. “Namanya siapa ya?” sambil mengulurkan tangannya. “Li..na.. eh... anu bukan  Rat..na ding. ”Yang ini saudaranya? siapa namanya?” “Aku Imel, mas dengan gesit Imel mengulurkan tangannya.” “Hem...”cantik-cantik namanya seperti orangnya. “Aku Raka.”
“Ok ..silakan dilanjutin aku buru-buru harus pulang ada yang harus dikerjakan di rumah,” sambil berdiri. “Oh ya lupa, boleh minta no handphonenya?” Hallo ..boleh minta nomor handphonenya? Sekali lagi Raka bertanya. Melihat Ratna yang melongo sedari tadi.”Haey ...tuh dia minta nomor hpmu, Nana??”Napa sih bengong aja tar kesambet lho,  kata Imel. “Bo ... bo...boleh kok mas, ini...” kemudian Ratna menyebutkan nomor handphonenya dan mereka tukeran nomor handphone masing-masing. “Makasih ya...” “Sama-sama..,” kini Imel yang menyahut, karena melihat Ratna masih gugup. “Maafin ya mas saudara saya ini, emang suka begini kalau liat yang asing dan ganteng hehehe...”lanjut Imel. “Ngak masalah kok,” selamat berjumpa kembali ya ?!” katanya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Tak terasa 3 bulan pun berlalu dengan cepat, Ratna dan Raka semakin akrab dan mereka pun sering jalan berdua, makan berdua dan kadang nonton berdua pula tanpa harus dibarengi dengan Imel saudaranya. Ratna benar-benar jatuh cinta sama Raka. Mereka berdua sudah saling mengenal dan ngak ada hal-hal yang disembunyikan satu sama lainnya, termasuk sebenarnya Ratna masih berstatus sebagai seorang pelajar dan bagi Raka ngak masalah. Walaupun awalnya Raka menyangka Ratna adalah seorang yang sudah bekerja dilihat dari tubuh dan sikapnya Ratna yang lebih dewasa.
Ratna mencintainya  tanpa batas, menerima dan mengakui kekurangannya. Setiap malam Ratna  selalu berkata dalam hati, “Aku menyayangimu apa adanya Ka, tanpa aku meminta kamu harus sesempurna tuhan. Aku tahu dan aku sadar, tak ada makhluk tuhan yang sangat sempurna, karena kesempurnaan adalah milik tuhan. Bagiku sempurna itu memiliki arti tersendiri, seperti hidupku sempurna jika bersamamu.”
“Raka... rasa rindu ini tanpa ku minta mulai menghantui hidupku lagi, aku begitu merindukanmu Ka, namamu selalu berderetan bagai perahu layar yang keluar dari ujung lautan yang semakin lama semakin terlihat membesar. Kamu adalah laki-laki idamanku, hingga aku begitu mengagumimu. Kau bukan sahabatku tapi tambatan hatiku, karena itu aku tak ingin keberadaanku di hatimu sia-sia.”
Malam merayap, merambat, dan menepati janjinya, pekat dan sunyi kembali melaruti alam, perlahan aku mulai memejamkan mata, tiba-tiba ponselku berbunyi tanda adanya pesan masuk, nama Raka tertera dalam layar handphone ku, dengan hati senang tak karuan perlahan mulai ku baca smsnya. “Sayang lagi apa?” Baru saja mau sms, eh dia sms duluan, batinku, hem.... “Lagi tiduran aja, kalau kamu sayang?” “Lagi main game, pusing banyak tugas.” “Kok main game terus, lakuin hal yang bermanfaat kek,”selorohku. “Sms Imel?” “Kalau sms aku bermanfaat, sms aku aja setiap detik :heee..” “Insya Allah sayang,”sambungnya lagi dengan mesra. Aku dan Raka berkomunikasi cukup lama. Aku mendengarkan ceritanya, begitupun sebaliknya. Betapa bahagianya perasaan Ratna saat itu, hatinya berbunga-bunga, seakan hidupnya berwarna dengan kehadiran sms dari Raka malam itu. Malam itupun berlalu begitu cepat. Tapi tidak dengan rasaku untuknya. Rasa ini semakin lama semakin mentahta di relung hatiku, membuatku takut kehilangan dirinya. Sampai tak terasa Ratna tertidur dengan pules sambil tetap memegang ponselnya.
Pagi harinya Ratna memberanikan diri untuk memulai pembicaraan lagi lewat telepon dengan lelaki yang begitu idolakan dan dicintai itu, lelaki yang tak pernah luput dari perhatian Ratna. “Sayang, lagi sibuk gak?” “Iya ni sayang, aku lagi sibuk. Entar aku sms ya sayang” “Ya udah gak apa-apa sayang,” Sahut Ratna lalu menutup telepon dengan perasaan sedikit kecewa. Tak berapa lama handphone Ratna berdering kembali, ternyata Raka sms, “Ratna sayang...kita bisa bertemu sekarang?” Begitu bunyi sms Raka. “Apa yang ngak bisa buat kamu sayang,” balas Ratna. “Ok... kalau gitu kita ketemu di tempat biasa.” “Iya...sayang segera aku ke sana,”timpal Ratna.
Tak berapa lama Ratna sampai di tempat itu, ternyata Raka sudah ada di sana. “Dah lama nunggu ya sayang?”sapa Ratna. “Ngak juga baru aja aku duduk,” timpal Raka. “Nana boleh ngak aku jujur sama kamu?”kata Raka penuh dengan keraguan dan kebingungan. “Ih ..emang kenapa dan mau bicarain apa sih sayang?” “Bicara aja!” Lanjut Ratna. “Nana...,sebenarnya berat untuk kukatakan padamu,”terhenti sejenak perkataannya. “jangan kecewa ya Nana?” “Jangan merasa dikhinati olehku.”
“Sebenarnya aku itu sudah dijodohkan oleh orang tuaku pada seorang gadis yang bernama Aurel, aku ngak bisa berbuat apa-apa dan sangat sulit untuk menolak keinginan orang tuaku itu.”Sambil tersendat suaranya. Aku ngak kuasa menolak Nana...”  “Aku ngak mampu Nana.” ” Walau perasaan ini ngak bisa dibohongin.” “Orang tuaku berhutang budi pada keluarga mereka.” “Aku tahu bukan zaman Siti Nurbaya lagi, pilihan berat bagiku Nana.” Berat ...sungguh berat. “Dengan keputusan ini pasti kamu tersakiti, begitu pula aku sakit, Nana.”
“Maafin aku ya Nana,”sambil memegang erat tangan Ratna. “Maafin ...” JeeDeer.. bagai disambar petir di siang bolong. Remuk sudah perasaan Ratna, hancur sudah benih-benih cinta yang telah tumbuh subur, oleh keadaan yang ngak bersahabat, oleh kondisi yang ngak mesti membebat. Tiada banyak kata yang terucap dari mulut mungil Ratna, hanya air mata yang mulai belinang setes menetes membasahi lesung pipi Ratna. Dan hanya sepenggal kata “Oh..”
Hanya itu yang dapat aku katakan, lidahku kaku, lidahku kelu. Pandangan nanar dan gelap. Tak dapat berbicara apa-apa. Biarkan rasa sakit ini kupendam sendiri, biarlah kepedihan ini kubawa sendiri, tak perlu ada yang tahu karena ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Aku merasa kehilangan Raka. Raka yang sangat dicintai dan disayangi selama ini. Kehilangan Raka seperti seribu sembilu yang menusuk dan menyayat-nyayat hatiku. Mengapa dia harus datang di hidupku, mengapa dia harus hadir di perjalananku, jika akhirnya dia akan pergi juga? Bukankah lebih baik dari awal tak usah hadir saja.

Dunia seperti terhenti berputar, jutaan anak panah seperti tertancap dalam di jantungku, dan aku tak dapat bernafas, bulu-buluku terasa merinding dan berdiri, mataku mulai berlinang-linang dan semakin tak dapat ku tahan tetes demi tetes air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku begitu menyayangi Raka, dia sudah menjadi bagian dari nafasku selama beberapa bulan terakhir ini. Aku tak mungkin melupakan seseorang yang telah mengisi hari-hariku selama ini. “Ah..”

0 komentar:

Post a Comment